Minggu, 21 Maret 2010

Perbankan Nasional

Krisis perbankan di Indonesia dewsa initerolong yang paling parah dan relative termahal termahal didunia sepanjang abad lalu.Beban restrukturisasi perbankan nasional yang ditanggung oleh perekonomian mencapai 47% dari Produk Domestik Bruto (PDB) .

DUA PENYEBAB UTAMA KEHANCURAN PERBANKAN INDONESIA YANG DIMULAI SAAT KRISIS EKONOMI TAHUN 1997.

Terlalu longgarnya aturan perbankan,terutama sejak di gulirkannya paket Oktober 1988(pakto88).Aturan ini memungkinkan langkah mendirikan bank begitu mudahnya,sehingga dalam waktu singkat,umlah Bank menjamur.

Bank dalam sector real kian terintegrasi di dalam jalinan kepemilikan seseorang atau sekelompok orang yang sama.Keadaan ini sebenarnya tidak membawa dampak yang terlalau negative seandainya aturan main ditegakkan.Keadaannya semakin parah mengingat praktik-praktik bisnis di naungi oleh suatu system politik tertutup yang otoriter dan korup.Maka,tatkala terjadi guncangan pada sendi-sendi politik otomatis bangunan usaha termasuk perbankan juga turut oleng.

ANALISIS KONDISI PERBANKAN NASIONAL TAHUN 2009

Selama periode February-juni 2008 laju pertumbuhan kreditbulanan tercatat sebesar hampir 4 persen,angka ini menurunmenjadi hanya sekitar 2 persen pada periode Juli-Desember 2008.Memasuki 2009,pertumbuhan kredit minus 2,1 persen .Turunyya tingkat pertumbuhan hamper bisa dipastikanjuga akan turut menggerek naik jumlah kredit bermasalah (NPL).Penyebab dari melemahnya pertumbuhan kredit adalah serstnya likuiditas.Satu hal yang antara lain diindikasikan dari berkurangnya lebih dari dua kali lipat akses likuiditas perekonomian yang disimpan Sertifikat Bank Indonesia(SBI),fasilitas BI,dan fine tuning operation(FTO).

Beberapa pekan terakhir,likuiditas perekonomian memang sedikit tertolong dengan suntikan devisa dari Negara-negara yang melakukan bilateral swap agreement dengan Indonesia seperti cina.Tambahan dana sebesar 12 miliar dolar AS juga rencananya akan dihasilkan bila komitmen ASEAN plus 3 bisa di realisasikan.Berbagai suntikan devisa ini akan secara langsung mengurangi tekanan terhadap likuiditas domestic melalui mekanisme uang inti.Selain,suntikan dari luar,arus lalu lintas likuiditas domestic juga agaknya banyak terbantu oleh pesta demokrasi Pemilu yang kini tengah hingar binger di rayakan.Sayamg aliran likuiditas ang bertambah tidak serta merta bisa diterjemahkan dalam ekspansi kredit.Persoalannya krisis global juga ,menyebabkan semakin akutnya segmentasi pasar perbankan domestic,yang menyebabkan suku bunga kredit komersial sulit turun(Baca:Deviasi BI Rate dan suku bunga kredit).

Berbagai upaya terobosan yang dilakukan BI untuk mengatasi masalah ini,termasuk upaya penciptaan satu pooling fund,belum tanda-tanda menggembirakan.Bank masih saling enggan untuk meminjamkan dananya,karena profil resiko masing-masing yang belum sepenuhnya transparan.Solusi komprehensif segmantasi pasar perbankan ini agaknya harus menunggu sedikit lagi,hingga sah di undangkannya RUU Jaringan Pengaman Sistem Keuangan yang sampai saat ini masih berada di DPR.Dengan berbagai masalah yang ada,tidak mengherankan bila laju pertumbuhan kredit sepanjang 2009 secara kumulatif bakal melambat di kisaran 15 persen.Begitu pula dengan perkiraan laju dana pihak ketigsa yang hanya sebesar 11 persen.Namun sampai sejauh ini,perlambatan pertumbuhan kredit dan pemburukkan NPL tidak berdampak secara serius pada fundamental system perbankan domestic secara keseluruhan.Secara rata-rata,perbankan domestic mash memilki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio—CAR)yang lebih cukup ,se besar 17 persen.Angka ini jauh diatas angka minimal sebesar 8 persen.Bantalan modal yang besar ini memungkinkan perbankan domestic untuk menyerap berbagai resiko yang mungkin timbul selama 2009.Pada awal 2009,tingkat NPL juga masih relative terkendali di bawah 5 persen,meski sedikit meningkat dari angka 4 persen pada akhir 2008

Fundamental perbankan yang baik ini merupakan modal yang sangat bernilai untuk mengarungi 2009.Tentu ,pada tataran operasional perbankan,perlu ada upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi yang saat ini masih tergolong cukup rendah di mana rasio BOPO masih sebesar 80an serta manajemen resiko dari masing-masing bank.Sebab dari pengalaman mutakhir yang ada ,dalam kasus bank Indover dan Century,runtuhnya suatu bank kerap di sebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul bahkan criminal.

Secara bersamaan,upata perbaikan di skala mikro ini perlu di barengi oleh upaya di tataran makro berupa konsolidasi perbankan.Konsolidasi yang kerap dilakukan merger selain mengurangi ketakutan problem segmentasi pasar perbankan,juga akan mengurangi beban pengawasan otoritas moneter.Upaya lain pada tataran makro yang perlu terus dilanjutkan bahkan di perkuat adalah kebijakan tatakelola yang berhati-hati(prudential regulation),termasuk dalam hal transaksi dervatif dan valuta asing yang telah diterapkn.Kebijakan dari BI ini adalah salah satu yang telah menyelamatkan perbankan nasional hingga saat ini,sehingga perlu di teruskan dan jangan justru dilonggarkan.

Dismping perbaikan manajemen resiko dan tata kelola bank,ada baiknya BI juga memberikan arahan sektoral bagi ekspansi kredit sebagai satu petunjuk operasional perbankan.Guidance ini tentunya harus bersifat spesifik dan berbeda pada masing-masing daerah.Pada titik ini,kantor-kantor BI yang tersebar di hamper seluruh pelosok Nusantara harus di fungsionalisasikan sebagai ujung tombak dalam memberikan arah sektoral yang bersifat local.

Eksistensi perbankan Indonesia akan sangat di pengaruhi oleh kemampuannnya membaca perubahan-perubahan dilingkungan eksternalnya, baik pada lingkup nasional maupun internasional.Perubahan-perubahan yang perlu di cermati adalah:

a.Perubahan struktur dan karakter perekonomian nasional sebagai akibat dari perubahan struktur intensif pasca-krisis.

b.penerapan otonomi daerah

c.fenomena globalisai dan regionalisasi

Sumber diambil dari:Http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/artikel-perbankan-nasional.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar